1.17 BURUNG KASUARI
Kasuari merupakan sebangsa burung
yang mempunyai ukuran tubuh sangat besar dan tidak mampu terbang.
Kasuari yang merupakan binatang yang dilindungi di Indonesia dan juga
menjadi fauna identitas provinsi Papua Barat terdiri atas tiga jenis
(spesies). Ketiga spesies Kasuari yaitu Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus), Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius), dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti).
Burung Kasuari merupakan burung
besar yang indah menawan. Namun dibalik keindahan burung Kasuari
mempunyai sifat yang agresif dan cenderung galak jika diganggu. Burung
bergrnus Casuarius ini sangat galak dan pemarah dan tidak segan-segan
mengejar ‘korban’ atau para pengganggunya. Karenanya di kebun
binatangpun, Kasuari tidak dibiarkan berkeliaran bebas. Bahkan konon, The Guinnes Book of Records
memasukkan burung Kasuari sebagai burung paling berbahaya di dunia.
Meski untuk rekor ini saya belum dapat melakukan verifikasi ke situs The Guinness Book of Records.
Kasuari merupakan burung endemik yang hanya hidup di pulau Papua dan sekitarnya, kecuali Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius) yang dapat juga ditemukan di benua Australia bagian timur laut. Dalam bahasa Inggris, Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius) disebut (Southern Cassowary), Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus) disebut (Northern Cassowary) dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti) disebut sebagai (Dwarf Cassowary).
Ciri-ciri dan Tingkah Laku. Burung Kasuari mempunyai ukuran tubuh yang berukuran sangat besar, kecuali Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti)
yang ukuran tubuhnya lebih kecil. Burung Kasuari tidak dapat terbang.
Burung kasuari dewasa mempunyai tinggi mencapai 170 cm, dan memiliki
bulu berwarna hitam yang keras dan kaku.
Di atas
kepalanya Kasuari memiliki tanduk yang tinggi berwarna kecokelatan.
Burung betina serupa dengan burung jantan, dan biasanya berukuran lebih
besar dan lebih dominan.
Kaki burung Kasuari sangat panjang
dan kuat. Kaki ini menjadi senjata utama burung langka dan dilindungi
ini. Kaki burung Kasuari mampu menendang dan merobohkan musuh-musuhnya,
termasuk manusia, hanya dengan sekali tendangan. Mungkin karena
tendangan dan agresifitasnya ini tidak berlebihan jika kemudian The Guinness Book of Records menganugerahinya sebagai burung paling berbahaya di dunia.
Pada Kasuari Gelambir Ganda
terdapat dua buah gelambir berwarna merah pada lehernya dengan kulit
leher berwarna biru.. Sedangkan pada Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus), sesuai namanya hanya mempunyai satu gelambir.
Burung Kasuari yang termasuk satwa
yang dilindungi dari keounahan ini memakan buah-buahan yang jatuh dari
pohonnya. Burung Kasuari biasa hidup sendiri, dan berpasangan hanya pada
saat musim kawin saja. Anak burung dierami oleh Kasuari jantan.
Kasuari Kerdil
Meskipun Kasuari memiliki tubuh
yang besar, namun ternyata tidak banyak yang diketahui tentang burung
endemik papua ini. Apalagi untuk spesies Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus) dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti).
Habitat dan Penyebaran. Burung Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus) dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti) merupakan satwa endemik pulau Papua (Indonesia dan Papua New Guinea), sedangkan Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius)
selain di pulau Papua juga terdapat di pulau Seram (Maluku, Indonesia)
dan Australian bagian timur laut. Burung Kasuari mempunyai habitat di
daerah hutan dataran rendah termasuk di daerah rawa-rawa.
1.18 BURUNG MALEO
Burung Maleo atau Macrocephalon
Maleo, merupakan burung endemik yang hanya bisa dijumpai di Kepulauan
Sulawesi. Burung ini bisa ditemukan di hutan pegunungan dan hutan
pantai, di Sulawesi Tengah.
Sepintas penampilan burung ini
biasa saja, selain jambul di kepalanya, burung ini mirip dengan ayam.
Dari penampilannya, sulit dibedakan antara burung jantan dan betina.
Daya tarik burung Maleo justru
pada telurnya, yang ukurannya lima kali lebih besar dari telur ayam.
Inilah yang menyebabkan telur burung Maleo banyak diburu orang. Sehingga
kelestariannya terancam.
Telur burung Maleo memang memiliki
nilai ekonomis, yang lebih tinggi dibandingkan telur ayam, karena
bentuknya yang lebih besar. Harganya di pasar gelap bisa mencapai 50
ribu rupiah per butir.
Burung Maleo sebenarnya dapat bertelur dua kali dalam sebulan. Namun setiap bertelur, hanya satu telur yang dihasilkan.
Sang induk meletakkan telurnya di
dalam lubang yang berpasir, yang dekat dengan sumber air panas. Oleh
karena itu, habitat asli burung ini berada di sekitar sumber air panas,
yang tanahnya berpasir.
Dari hasil riset The Nature
Conservancy, sebuah LSM internasional yang bergerak dalam konservasi
lingkungan, dari sepuluh habitat burung Maleo di Taman Nasional Lore
Lindu, Sulawesi Tengah, kini hanya tinggal 4 habitat saja. Sisanya telah
rusak dan punah.
Penyebab utama terancamnya
kelestarian burung Maleo tidak hanya telurnya diambil manusia, tetapi
juga ganggan dari predator alaminya, yakni biawak dan tikus hutan.
Selain itu, pembukaan lahan hutan
untuk perkebunan, dan kebakaran hutan juga menjadi penyebab rusaknya
habitat asli burung Maleo. Salah satu habitat burung Maleo yang masih
dapat dijumpai di kawasan Sulawesi Tengah adalah di Saluki, kawasan
Taman Nasional Lore Lindu.
Untuk mencapai Saluki, dapat ditempuh dengan menggunakan mobil hingga Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala.
Desa ini berjarak sekitar 45
kilometer arah selatan dari Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Selepas
dari Desa Tuva, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan sepeda motor
sejauh 4 kilo meter.
Di Balai Taman Nasional Lore Lindu
di Saluki inilah dilakukan upaya pelestarian terhadap burung Maleo.
Lokasi penangkaran terletak di kawasan habitat aslinya, karena hanya di
tempat semacam inilah burung maleo dapat berkembang biak.
Di lokasi ini terdapat sembilan
kandang penangkaran. Telur burung Maleo disimpan di dalam lubang tanah
yang berpasir di dalam kandang, dan akan menetas sendiri dalam waktu 76
hingga 90 hari.
Penangkaran burung Maleo ini turut melibatkan masyarakat sekitar. Salah seorang diantaranya adalah Ambo Tuo.
Kakek tiga orang cucu berusia 60
tahun ini, bersama 10 orang warga lainnya secara sukarela membantu
polisi hutan menjaga kelestarian burung Maleo. Di 9 tempat penangkaran
di Saluki ini terdapat sekitar 178 ekor burung Maleo.
Sementara di seluruh Taman Nasional Lore Lindu, jumlah populasi burung Maleo diperkirakan mencapai 500 ekor.
Menurut Herman Sasia, koordinator
lapangan pelestarian burung Maleo Balai Taman Nasional Lore Lindu,
gangguan terbesar dalam melestarikan burung Maleo datang dari predator
alamnya, yakni biawak. Selain itu tangan jahil manusia yang mengambil
telur burung Maleo.
Kawasan Saluki di Taman Nasional
Lore Lindu ini merupakan salah satu tempat penangkaran burung Maleo,
yang bisa dijadikan model bagi penyelamatan burung langka.
Kerjasama antara petugas dan warga setempat terbukti mampu menjaga kelestarian burung Maleo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar