Kamis, 28 Januari 2016

burung kasuari dan burung maleo

1.17  BURUNG KASUARI

Kasuari merupakan sebangsa burung yang mempunyai ukuran tubuh sangat besar dan tidak mampu terbang. Kasuari yang merupakan binatang yang dilindungi di Indonesia dan juga menjadi fauna identitas provinsi Papua Barat terdiri atas tiga jenis (spesies). Ketiga spesies Kasuari yaitu Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus), Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius), dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti).
Burung Kasuari merupakan burung besar yang indah menawan. Namun dibalik keindahan burung Kasuari mempunyai sifat yang agresif dan cenderung galak jika diganggu. Burung bergrnus Casuarius ini sangat galak dan pemarah dan tidak segan-segan mengejar ‘korban’ atau para pengganggunya. Karenanya di kebun binatangpun, Kasuari tidak dibiarkan berkeliaran bebas. Bahkan konon, The Guinnes Book of Records memasukkan burung Kasuari sebagai burung paling berbahaya di dunia. Meski untuk rekor ini saya belum dapat  melakukan verifikasi ke situs The Guinness Book of Records.
Kasuari merupakan burung endemik yang hanya hidup di pulau Papua dan sekitarnya, kecuali Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius) yang dapat juga ditemukan di benua Australia bagian timur laut. Dalam bahasa Inggris, Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius) disebut (Southern Cassowary), Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus) disebut (Northern Cassowary) dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti) disebut sebagai (Dwarf Cassowary).
Ciri-ciri dan Tingkah Laku. Burung Kasuari mempunyai ukuran tubuh yang berukuran sangat besar, kecuali Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti) yang ukuran tubuhnya lebih kecil. Burung Kasuari tidak dapat terbang. Burung kasuari dewasa mempunyai tinggi mencapai 170 cm, dan memiliki bulu berwarna hitam yang keras dan kaku.

Di atas kepalanya Kasuari memiliki tanduk yang tinggi berwarna kecokelatan. Burung betina serupa dengan burung jantan, dan biasanya berukuran lebih besar dan lebih dominan.
Kaki burung Kasuari sangat panjang dan kuat. Kaki ini menjadi senjata utama burung langka dan dilindungi ini. Kaki burung Kasuari mampu menendang dan merobohkan musuh-musuhnya, termasuk manusia, hanya dengan sekali tendangan. Mungkin karena tendangan dan agresifitasnya ini tidak berlebihan jika kemudian The Guinness Book of Records menganugerahinya sebagai burung paling berbahaya di dunia.
Pada Kasuari Gelambir Ganda terdapat dua buah gelambir berwarna merah pada lehernya dengan kulit leher berwarna biru.. Sedangkan pada Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus), sesuai namanya hanya mempunyai satu gelambir.
Burung Kasuari yang termasuk satwa yang dilindungi dari keounahan ini memakan buah-buahan yang jatuh dari pohonnya. Burung Kasuari biasa hidup sendiri, dan berpasangan hanya pada saat musim kawin saja. Anak burung dierami oleh Kasuari jantan.


Kasuari Kerdil
Meskipun Kasuari memiliki tubuh yang besar, namun ternyata tidak banyak yang diketahui tentang burung endemik papua ini. Apalagi untuk spesies Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus) dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti).
Habitat dan Penyebaran. Burung Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unappendiculatus) dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti) merupakan satwa endemik pulau Papua (Indonesia dan Papua New Guinea), sedangkan Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius) selain di pulau Papua juga terdapat di pulau Seram (Maluku, Indonesia) dan Australian bagian timur laut. Burung Kasuari mempunyai habitat di daerah hutan dataran rendah termasuk di daerah rawa-rawa.
1.18 BURUNG MALEO

Burung Maleo atau Macrocephalon Maleo, merupakan burung endemik yang hanya bisa dijumpai di Kepulauan Sulawesi. Burung ini bisa ditemukan di hutan pegunungan dan hutan pantai, di Sulawesi Tengah.
Sepintas penampilan burung ini biasa saja, selain jambul di kepalanya, burung ini mirip dengan ayam. Dari penampilannya, sulit dibedakan antara burung jantan dan betina.
Daya tarik burung Maleo justru pada telurnya, yang ukurannya lima kali lebih besar dari telur ayam. Inilah yang menyebabkan telur burung Maleo banyak diburu orang. Sehingga kelestariannya terancam.
Telur burung Maleo memang memiliki nilai ekonomis, yang lebih tinggi dibandingkan telur ayam, karena bentuknya yang lebih besar. Harganya di pasar gelap bisa mencapai 50 ribu rupiah per butir.
Burung Maleo sebenarnya dapat bertelur dua kali dalam sebulan. Namun setiap bertelur, hanya satu telur yang dihasilkan.
Sang induk meletakkan telurnya di dalam lubang yang berpasir, yang dekat dengan sumber air panas. Oleh karena itu, habitat asli burung ini berada di sekitar sumber air panas, yang tanahnya berpasir.
Dari hasil riset The Nature Conservancy, sebuah LSM internasional yang bergerak dalam konservasi lingkungan, dari sepuluh habitat burung Maleo di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, kini hanya tinggal 4 habitat saja. Sisanya telah rusak dan punah.
Penyebab utama terancamnya kelestarian burung Maleo tidak hanya telurnya diambil manusia, tetapi juga ganggan dari predator alaminya, yakni biawak dan tikus hutan.
Selain itu, pembukaan lahan hutan untuk perkebunan, dan kebakaran hutan juga menjadi penyebab rusaknya habitat asli burung Maleo. Salah satu habitat burung Maleo yang masih dapat dijumpai di kawasan Sulawesi Tengah adalah di Saluki, kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Untuk mencapai Saluki, dapat ditempuh dengan menggunakan mobil hingga Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala.
Desa ini berjarak sekitar 45 kilometer arah selatan dari Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Selepas dari Desa Tuva, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan sepeda motor sejauh 4 kilo meter.
Di Balai Taman Nasional Lore Lindu di Saluki inilah dilakukan upaya pelestarian terhadap burung Maleo. Lokasi penangkaran terletak di kawasan habitat aslinya, karena hanya di tempat semacam inilah burung maleo dapat berkembang biak.
Di lokasi ini terdapat sembilan kandang penangkaran. Telur burung Maleo disimpan di dalam lubang tanah yang berpasir di dalam kandang, dan akan menetas sendiri dalam waktu 76 hingga 90 hari.
Penangkaran burung Maleo ini turut melibatkan masyarakat sekitar. Salah seorang diantaranya adalah Ambo Tuo.
Kakek tiga orang cucu berusia 60 tahun ini, bersama 10 orang warga lainnya secara sukarela membantu polisi hutan menjaga kelestarian burung Maleo. Di 9 tempat penangkaran di Saluki ini terdapat sekitar 178 ekor burung Maleo.
Sementara di seluruh Taman Nasional Lore Lindu, jumlah populasi burung Maleo diperkirakan mencapai 500 ekor.
Menurut Herman Sasia, koordinator lapangan pelestarian burung Maleo Balai Taman Nasional Lore Lindu, gangguan terbesar dalam melestarikan burung Maleo datang dari predator alamnya, yakni biawak. Selain itu tangan jahil manusia yang mengambil telur burung Maleo.
Kawasan Saluki di Taman Nasional Lore Lindu ini merupakan salah satu tempat penangkaran burung Maleo, yang bisa dijadikan model bagi penyelamatan burung langka.
Kerjasama antara petugas dan warga setempat terbukti mampu menjaga kelestarian burung Maleo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar